Minggu, 11 Desember 2011

Sejarah Usaha Pertambangan Di Indonesia

Perkembangan industri pertambangan Indonesia berhubungan erat dengan sejarah perjalanan bangsa Indonesia itu sendiri.

Jika sepintas kita melihat kepada sejarah peradaban manusia, maka usaha pertambangan ini adalah merupakan pekerjaan yang umurnya hampir sama dengan manusia itu sendiri.

Pada awalnya pertambangan hanya terbatas untuk memenuhi kebutuhan akan berbagai peralatan untuk meneruskan kehidupan (table berikut)

Kebutuhan / Pemakaian

Kegunaan

Umur

Alat perkakas rumah tangga

Mencari makan, perlindungan

Pra sejarah

Senjata

Berburu, membela diri, perang

Pra sejarah

Dekorasi/perhiasan

Permata, alat kecantikan, mencelup

Kuno

Mata uang

Alat tukar, uang

Zaman Permulaan

Perlengkapan dan struktur

Transportasi dan perlindungan

Zaman Permulaan

Energi

Tenaga dan panas

Zaman Pertengahan

Mesin

Industri

Modern

Nuklir

Kekuatan dan Perang

Modern

Jika diasosiasikan dengan penemuan mineral-mineral, peradaban itu berurut sebagai berikut:

Peradaban

Perkiraan tahun

Zaman Batu

Sampai 4000 tahun SM

Zaman Perunggu

4000 – 1500 tahun SM

Zaman Besi

1500 tahun SM – tahun 1780

Zaman Baja

1780 – 1945

Zaman Nuklir

Semenjak tahun 1945

Di Indonesia menurut catatan sejarah yang pernah ada, diketahui bahwa pertambangannya telah ada waktu penjajahan oleh VOC dan Portugis. Tetapi usaha pertambangannya tidak begitu besar, karena pada waktu itu yang dicari oleh VOC dan Portugis adalah rempah-rempah dan hasil bumi lainnya.

Usaha tambang tertua di Indonesia adalah batubara

Catatan Produksi Pertambangan tahun 1938 dan tahun 1941 adalah sebagai berikut:

Komodity

1938

1941

Timah

27.737 ton

54.170 ton

Nikel

20.000 ton

55.570 ton

Emas

2.372 kg

2.562 kg

Batubara

1.456.650 ton

2.628.875 ton

Saat ini timah hanya 30.000 ton/tahun --àpermintaan pasar melemah.

Emas 20.000 kg/tahun -à Freeport

Perkembangan Perundang-undangan Pertambangan

Permulaan tahun 1800:

Tahun 1868:

Tahun 1870:

Tahun 1892:

Undang-undang Pertambangan pertama Indische Mijnwet 1899:

Telah ada istilah: bahan galian milik negara, pemisahan hak penambangan dan hak pemilikan tanah, dan proses perizinan.

Tahun 1906 keluar Mijn Ordonantie (PP)

Tahun 1910 Adendum pasal 5a.

Tahun 1945 perang kemerdekaan

Tahun 1950an mulai kembali diusahakan penambangan sisa sebelum perang

Tahun 1956/57 mulai dibahas untuk penggantian Mijn Wet

Tahun 1960 PRP No. 37/60 yang disyahkan MPRS yang salah satu isinya adalah adanya Kuasa Pertambangan (KP) pengganti konsesi. Sistem Ekonomi Tertutup, tambang tidak terbuka untuk orang asing.

Barulah sesudah 1965 (G30S/PKI) Suharto berkuasa ada perubahan

Tahun 1967 UU No. 1/1967 PMA (Januari)

Tahun 1967 UU No. 11/1967 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan (2 Des 1967)

Freeport 1967 (April)

Tahun 1969 keluar PP No. 32 / 1969 Tentang Pelaksanaan UU No. 11/1967.

Saat ini sudah ada pengganti UU No. 11 /1967, UU No. 4 Tahun 2009. Ada beberapa UU yang kedudukannya dapat mempengaruhi kebijakan usaha pertambangan antara lain:

UU No. 22/1999 Pemerintahan Daerah

UU No. 25/1999 tentang Perimbangan keuangan Pusat dan Daerah

Dll.

Pengusahaan Pertambangan Batubara Indonesia

Penemu batubara Indonesia pertama adalah seorang ahli geologi Belanda bernama Ir. W. H. de Greve, tahun 1868 di tepi sungai Ombilin. Penemuan ini kemudian dilanjutkan dengan usaha eksplorasi rinci yang dimulai tahun 1870 dan baru rampung pada tahun 1880. Pada tahun itu juga dimulai pembangunan infrastruktur berupa jalur rel kereta api dari Sawahlunto ke Padang dan ke “Emmahaven” atau Pelabuhan Teluk Bayur sekarang. Produksi perdana dimulai pada tahun 1892

Pada waktu terjadi Perang Dunia II (1942 – 1945), yang kemudian diikuti dengan Revolusi Kemerdekaan (1945 – 1949), usaha pertambangan batubara dan pertambangan lainnya mengalami kemunduran dan kerusakan. Selanjutnya pada tahun 1950 – 1965 dilakukan upaya rehabilitasi dan pengembangan, namun lagi-lagi usaha tersebut mengalami stagnasi, karena kekacauan politik dalam negeri yang berkepanjangan, ditambah lagi pemberontakan G30S/PKI tahun 1965. Barulah pada tahun 1966, setelah pengambilalihan kekuasaan oleh Orde Baru, dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto, usaha pertambangan mengalami perkembangan yang cukup signifikan dari waktu kewaktu sampai sekarang ini. Kebijaksanaan pembaharuan sistem perekonomian nasional semasa Orde Baru sedikitnya telah menciptakan iklim kondusif bagi perkembangan usaha pertambangan Indonesia, dimana dengan program-program itu telah menarik cukup banyak investor, baik investor swasta nasional, maupun investor asing. Dalam hal ini semenjak akhir tahun 1980an atau awal tahun 1990an terus terus menerus dilakukan berbagai perubahan/perbaikan dalam pengaturan sistem pertambangan nasional.

In 1979, The Government invited a number of foreign companies to co-operate with P.N Batubara (noe named P.T. Tambang Batubara Bukit Asam) in developing the country’s coal resources. In the 1981, the first agreement was signed and 10 more followed between 1981 and 1987, including two with domestic companies.

The coal agreements are similar to the CoW’s, the main differences being:

- The State coal company hold title to the operations.

- The State receives a 13,5% share of the annual coal production, free of charge.

- The foreign contractor provides all the financing of the project, but all purchased materials, supplies, plant and equipment become the property of the State company (Indonesian Mining Journal, October 1994: 31).

Pengusahaan pertambangan batubara Indonesia pertama kali dilakukan dalam bentuk Kontrak Kerjasama Batubara dengan BUMN pengelola adalah PT. Tambang Batubara Bukit Asam (Persero). Dalam Kontrak Kerjasama Batubara tersebut dijelaskan bahwa rekanan kontraktor memberikan 13,5% dari hasil produksinya kepada PT. BA (Persero), lalu PT. BA membayarkan iyuran produksi rekanan kontraktor tersebut kepada negara dengan menjual batubara yang diberikan itu. Pada tahun 1996 Kontrak Kerjasama Batubara berubah menjadi Kontrak Karya, dimana dalam ketentuan Kontrak Karya ini royalti yang 13,5% dari hasil produksi perusahaan (kontraktor) diberikan atau disetorkan ke negara dalam bentuk uang tunai (cash).

Kontrak Karya Pertambangan Indonesia (untuk segala jenis usaha pertambangan) telah mengalami berbagai perobahan.

Kontrak Karya Generasi I (1967), kontraktor pertama PT. Freeport.

Kontrak Karya Genersai II (1968 sampai tahun 1972), 16 buah dalam berbagai bidang usaha pertambangan.

Antara 1972 sampai tahun 1976 tidak ada Kontrak Karya yang ditandatangani, hal ini terjadi karena adanya ketidakstabilan di berbagai belahan dunia, yang membawa dampak terhadap kejatuhan harga berbagai jenis bahan tambang. Kondisi tersebut juga diperburuk dengan adanya berbagai ketentuan perpajakan yang cukup berat bagi kontraktor atau investor, yang mana hal tersebut menjadikan Kontrak Karya tidak menarik lagi bagi calon investor (terutama investor asing).

Tahun 1976 dikeluarkan Kontrak Karya Generasi III, ( berlaku sampai tahun 1979), 3 buah kontrak.

Kontrak Karya Generasi IV, (1979-1987), 103 Kontrak Karya.

Tahun 1987 dilakukan lagi revisi, sehingga lahirlah Kontrak Karya Generasi V, berlaku sampai tahun 1992 dengan jumlah kontrak yang berhasil ditandatangani sebanyak 3 buah.

Demikianlah dari waktu kewaktu Kontrak Karya ini mengalami revisi, sesuai dengan tuntutan pembangunan. Kebanyakan revisi Kontrak Karya dilakukan terhadap ketentuan yang menyangkut pengaaturan perpajakan dan sebagian lagi menyangkut ketentuan ketenagakerjaan dan pengembangan wilayah sekitar lokasi.

Saat ini sistem Kontrak Karya Indonesia telah memasuki Kontrak Karya Generasi VIII, yang baru saja dikeluarkan pada bulan Agustus 1998 oleh Menteri Pertambangan dan Energi. Menurut Kuntoro, prinsip dasar dari Kontrak Karya Generasi VIII sama dengan Kontrak-kontrak Karya generasi sebelumnya, baik dari aspek hukum, teknik, keuangan, maupun promosi minat nasional bagi hak dan kewajiban para kontraktor, bedanya adalah bahwa dalam Kontrak Karya Generasi VIII lebih menekankan masalah pengembangan ekonomi masyarakat setempat (Warta APBI, Agust – September 1998: 6).

Cadangan Terbukti Batubara Indonesia

A r e a

In-Situ Resource

- North Sumatera

- Central Sumatera

- South Sumatera

- Bengkulu

- East kalimantan

- South Kalimantan

- Central Kalimantan

- Java

- Sulawesi

- Irian Jaya

1,272,000,000 tonnes

1,782,258,000 tonnes

5,563,564,000 tonnes

42,413,000 tonnes

4,590,328,000 tonnes

3,555,804,000 tonnes

240,000,000 tonnes

27,221,000 tonnes

89,062,000 tonnes

4,000,000 tonnes

Total

17,167,000,000 tonnes

(Graeme, L, 1995: 1)

Permodalan Dalam Pertambangan Batubara

Sama halnya dengan pertambangan bahan galian lainnya, bahwa pertambangan batubara mempunyai resiko yang besar (terutama pada tambang bawah tanah) dan memerlukan masa pengembalian modal lama, serta succes failure ratio yang kecil (antara 1% sampai 5%). Disamping itu semua kegiatan pertambangan jelas memerlukan modal yang besar, terutama dalam masa-masa eksplorasi. Dari catatan perkiraaan atas biaya eksplorasi yang dikeluarkan oleh berbagai negara terlihat bahwa Indonesia pada tahun 1997 yang lalu telah menghabiskan sebesar US$ 233.000.000, yakni jauh diatas biaya yang dikeluarkan oleh negara-negara lainnya.

Karena pertimbangan biaya, dan alasan teknologi serta sumberdaya manusia, maka pemerintah mengambil kebijaksanaan untuk membuka peluang masuknya investor asing dalam dunia pertambangan Indonesia. Dari sekian banyak perusahaan yang bergerak dalam pertambangan batubara di Indonesia, sebahagian besar adalah atas investasi modal asing atau patungan antara investor asing dengan investor domestik, yang diikat dalam satu sistem Kontrak Karya Batubara.

Berkaitan dengan masalah transfer teknologi, juga diadakan kerjasama dengan pihak asing, yang mana salah atu diantaranya adalah kerjasama yang baru saja diluncurkan antara pemerintah Indonesia dengan Jepang dalam program HEAD & JICA. Dalam kerjasama ini pihak Jepang melatih tenaga instruktur khusus untuk tambang dalam batubara. Pelatihan tenaga-tenaga pertambangan ini akan dimulai tahun 2001 sampai tahun 2005, yang akan dilakukan di Ombilin Mining Training Centre (OMTC) Sawahlunto.

Tidak ada komentar: