Kamis, 15 Desember 2011

Bhineka Tunggal Ika

1. Sejarah Bhineka Tunggal Ika

Kata Bhineka Tunggal Ika berasal dari bahasa jawa kuno yang memiliki arti “walaupun berbeda-beda tapi tetap satu”. Kalimat ini merupakan kutipan dari sebuah kakawin jawa kuno yaitu kakawin Sutasoma, karangan Mpu Tantular pada masa kerajaan Majapahit sekitar abad ke-14. Kakawin ini istimewa karena mengajarkan toleransi antara umat Hindu Siwa dengan umat Buddha.

2. Bhineka Tunggal Ika sebagai pemersatu bangsa

Masyrakat Indonesia terdiri dari lebih 500 suku dengan 250 lebih macam bahasa daerah, yang mana semua dipersatukan dengan ikrar yang telah menjadi dasar persatuan bangsa ini, yaitu sumpah permuda yang berisi: satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa. Ikrar atau janji tersebut telah diucapkan oleh seluruh bangsa Indonesia dengan perwakilan para pemuda dari berbagai suku dan golongan pada tanggal 28 oktober 1928, saat Indonesia masih berada dibawah penjajahan Belanda.

Sebuah bangsa multietnik memiliki beragam masalah seperti bangsa lainnya, namun masalah besar negara multietnik adalah sulitnya untuk menyatukan keseluruhan masyarakat kedalam satu kerangka persatuan yang utuh dan kuat. Dengan adanya semboyan dan konsep Bhinneka Tunggal Ika pada dasar kehidupan masyarakat Indonesia maka seharusnya persatuan dan kesatuan akan tetap terjaga dan menghambat terjadinya segala macam konflik yang didasari kepentingan golongan atau kelompok tertentu.

3. Penerapan Bhineka Tunggal Ika

Ada beberapa cara untuk menjadikan Bhinneka Tunggal Ika lebih membumi dalam pribadi masyarakat yang heterogen ini, salah satunya yaitu dengan identitas sosial mutual differentiation model dari Brewer & Gaertner (2003) yang diterapkan pada diri setiap Individu dalam bangsa ini. Mutual differentiation model adalah suatu model dimana seseorang atau kelompok tertentu yang mempertahankan identitas asal (kesukuan atau daerah) namun secara bersamaan kesemua kelompok tersebut juga memiliki suatu tujuan bersama yang pada akhirnya mempersatukan mereka semua.

Model ini akan memunculkan identitas ganda yang bersifat hirarkis, dengan artian seseorang tidak akan melepaskan identitas asalnya dan memiliki suatu identitas bersama yang lebih tinggi nilainya. Sebagai contoh seseorang tidak melupakan asalnya sebagai orang Minang, namun memiliki suatu kesatuan bersama yang lebih diutamakan yaitu sebagai rakyat Indonesia. Dengan demikian identitas kesukuan atau daerah lebih rendah nilai dan

keutamaannya daripada identitas nasional, Sesuai dengan makna Bhinneka Tunggal Ika itu sendiri, dimana persatuan adalah harga mati.

Pada masa kepemimpinan Ir.Soekarno, beliau pernah melakukan usaha mempersatukan seluruh bangsa dengan jargon “Ganyang Malaysia”, “Amerika kita Seterika”, “Jepang kita Panggang”, dan “Inggris kita Linggis” dimana pada kesempatan tersebut beliau menebar propaganda bahwa setiap warga negara Indonesia memiliki musuh bersama yaitu Malaysia, Jepang, Amerika dan Inggris.

Dengan adanya Ultimate Goal maka persatuan akan semakin kuat dikarenakan tumbuhnya perasaan senasib-sepenanggungan dalam masyarakat sebangsa dan setanah air. Perasaan, semangat dan tujuan seperti itulah yang akan membuat masyarakat heterogen menjadi bersatu, membentuk suatu identitas sosial nasional yang lebih kuat daripada kepentingan kelompok, golongan dan pribadi.

Dengan mengakui perbedaan dan menghormati perbedaan itu sendiri ditambah kuatnya mempertahankan ikrar satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa merupakan suatu model identitas sosial yang sangat baik dalam bangsa ini. Sehingga terjalin kerjasama antar semua golongan tanpa pernah menyinggung perbedaan karena memiliki suatu tujuan utama dan kebanggaan bersama atas persatuan bangsa.

4. Toleransi sebagai kunci penerapan Bhineka Tunggal Ika

Toleransi dalam konteks kehidupan berbangsa adalah sikap menghargai satu sama lain, melarang adanya dikriminasi dan ketidak-adilan dari kelompok mayoritas terhadap minoritas, baik secara suku, budaya dan agama dengan tujuan untuk mewujudkan cita-cita luhur bersama.

Selain masalah kebangsaan, tantangan kedepan pada masa mendatang dari bangsa ini adalah menghadapi era globalisasi ekonomi, kapitalisme yang menggurita, imperialis, orientalis, penyusupan paham-paham menyimpang dari pihak luar, serta dari dalam negeri sendiri seperti pengkhianatan, fundamentalis dan ‘barisan sakit hati’ yang bertujuan memperkeruh keadaan, menyulut konflik dan kesenjangan sehingga terjadi aksi-aksi dengan hasil keadaan yang menjauhkan kita dari jalur pencapaian cita-cita luhur.

Tidak ada komentar: