Kamis, 19 Januari 2012

Sebab-sebab Kebakaran Tambang Bawah Tanah


Mengapa kebakaran terjadi pada tambang batubara bawah tanah bisa menyebabkan ledakan gas metan ? Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan kebakaran dan ledakan tersebut ? Tulisan ini dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, sekaligus untuk menjelaskan karakteristik tambang terkait dengan potensi bahaya yang dimilikinya, terutama masalah gas dan kebakaran.

Pembatubaraan

Batubara terbentuk dari tumbuhan purba yang berubah bentuk akibat proses fisika dan kimia yang berlangsung selama jutaan tahun. Karena berasal dari material organik yaitu selulosa, sudah tentu batubara tergolong mineral organik pula. Reaksi pembentukan batubara adalah sebagai berikut:

5(C6H10O5) —> C20H22O4 + 3CH4 + 8H2O + 6CO2 + CO

C20H22O4 adalah batubara, dapat berjenis lignit, sub-bituminus, bituminus, atau antrasit, tergantung dari tingkat pembatubaraan yang dialami. Konsentrasi unsur C akan semakin tinggi seiring dengan tingkat pembatubaraan yang semakin berlanjut. Sedangkan gas-gas yang terbentuk yaitu metan, karbon dioksida serta karbon monoksida, dan gas-gas lain yang menyertainya akan masuk dan terperangkap di celah-celah batuan yang ada di sekitar lapisan batubara.

Secara teoretis, jumlah gas metan yang terkumpul pada proses terbentuknya batubara bervolume satu ton adalah 300m3. Kondisi terperangkapnya gas ini akan terus berlangsung ketika lapisan batubara atau batuan di sekitarnya tersebut terbuka akibat pengaruh alam seperti longsoran atau karena penggalian (penambangan).

Gas di tambang dalam

Gas-gas yang muncul di tambang dalam (underground) terbagi menjadi gas berbahaya (hazardous gas) dan gas mudah nyala (combustible gas). Gas berbahaya adalah gas yang dapat mempengaruhi kesehatan yang dapat menyebabkan kondisi fatal pada seseorang, sedangkan gas mudah nyala adalah gas yang berpotensi menyebabkan kebakaran dan ledakan di dalam tambang.

Pada tambang dalam, gas berbahaya yang sering ditemukan adalah karbon monoksida (CO), sedangkan yang dapat muncul tapi jarang ditemui adalah hidrogen sulfida (H2S), sulfur dioksida (SO2), dan nitrogen dioksida (NO2).

CO adalah gas tak berwarna, tak berasa, tak berbau, dan memiliki berat jenis sebesar 0,967. Pada udara biasa, konsentrasinya adalah 0 sampai dengan beberapa ppm, dan menyebar secara merata di udara. CO timbul akibat pembakaran tak sempurna, ledakan gas dan debu, swabakar, kebakaran dalam tambang, peledakan (blasting), pembakaran internal pada mesin, dll. Gas ini sangat beracun karena kekuatan ikatan CO terhadap hemoglobin adalah 240-300 kali dibandingkan ikatan oksigen dengan hemoglobin. Selain beracun, gas ini sebenarnya juga memiliki sifat meledak, dengan kadar ambang ledakan adalah 13-72 persen.

Untuk gas mudah nyala pada tambang batubara, sebagian besar adalah gas metan (CH4). Metan adalah gas ringan dengan berat jenis 0,558, tidak berwarna, dan tidak berbau. Gas ini muncul secara alami di tambang batubara bawah tanah sebagai akibat terbukanya lapisan batubara dan batuan di sekitarnya oleh kegiatan penambangan. Dari segi keselamatan tambang, keberadaan metan harus selalu dikontrol terkait dengan sifatnya yang dapat meledak. Gas metan dapat terbakar dan meledak ketika kadarnya di udara sekitar 5-15 persen dengan ledakan paling hebat pada saat konsentrasinya 9,5 persen pada saat terdapat sumber api yang memicunya.

Ventilasi tambang dalam

Untuk menangani permasalahan gas yang muncul di tambang dalam, perencanaan sistem ventilasi yang baik merupakan hal mutlak yang harus dilakukan. Selain untuk mengencerkan dan menghilangkan gas-gas yang muncul dari dalam tambang, tujuan lain dari ventilasi adalah untuk menyediakan udara segar yang cukup bagi para karyawan tambang, dan untuk memperbaiki kondisi lingkungan kerja yang panas di dalam tambang akibat panas bumi, panas oksidasi, dll.

Dengan memperhatikan ketiga tujuan di atas, maka volume ventilasi (jumlah angin) yang cukup harus diperhitungkan dalam perencanaan ventilasi. Secara ideal, jumlah angin yang cukup tersebut hendaknya terbagi secara merata untuk lapangan penggalian (working face), lokasi penggalian maju (excavation), serta ruangan mesin dan listrik.

Jumlah angin yang terlalu kecil akan menyebabkan gas-gas mudah terkumpul sehingga konsentrasinya meningkat, jumlah pasokan oksigen berkurang, dan lingkungan kerja menjadi panas. Sebaliknya, bila volume anginnya terlalu besar, maka hal ini dapat menimbulkan masalah serius pula yaitu swabakar batubara (spontaneous combustion).

Swabakar batubara terjadi akibat proses oksidasi batubara. Dalam kondisi normal, batubara akan menyerap oksigen di udara dan menimbulkan proses oksidasi perlahan, sehingga terjadi panas oksidasi. Karena nilai konduktivitas panas batubara adalah 1/4 dari konduktivitas panas batuan, maka panas oksidasi sulit berpindah ke batuan di sekitarnya, sehingga akan terus terakumulasi di dalam batubara secara perlahan. Bila sistem ventilasi yang baik untuk menangani hal ini tidak dilakukan, maka suhunya akan terus meningkat dan dapat mencapai titik nyala, yang akhirnya menimbulkan kebakaran.

Apabila kegiatan penggalian batubara di suatu zona sudah selesai dan akan berpindah ke lapangan penggalian berikutnya, maka lorong atas lapangan (top level) dan lorong bawah lapangan (bottom leve) harus disekat (sealing) sempurna, untuk mencegah masuknya aliran udara segar sehingga proses oksidasi batubara terhenti. Pada bagian dalam lorong yang telah disekat, kadar metan akan terus bertambah, sedangkan oksigen akan menurun.

Contoh Kasus :
Kasus Ombilin

Kebakaran atau lebih tepatnya swabakar di tambang batubara bawah tanah Ombilin yang terjadi lagi pada pertengahan Januari 2006 lalu dimulai dari lorong tambang yang telah disekat rapat, kemudian terbuka akibat kegiatan penambangan liar (illegal mining).

Minimnya pengetahuan teknologi ventilasi yang dimiliki oleh para penambang liar mengakibatkan sekat yang harus dijaga rapat akhirnya dibongkar untuk mengambil batubara yang masih tersisa di dalam. Akibatnya, lorong yang telah disekat tadi terbuka kembali, sehingga proses oksidasi batubara berlangsung kembali. Pada saat itu, kadar metan yang sangat tinggi ketika lorong disekat akan menurun. Apabila kadar metan mencapai nilai ambang ledakan yaitu 5-5 persen, dan swabakar berlangsung terus hingga menimbulkan nyala api, maka bencana ledakan gas metan akan terjadi.

Selain itu, tidak adanya rencana penggalian yang baik dari para penambang liar mengakibatkan banyak lorong yang dibuat akhirnya saling berdekatan dengan lorong yang sudah ada. Jarak antar lorong yang terlalu dekat akan mengakibatkan pilar batuan atau batubara yang terletak diantara lorong-lorong tersebut tidak memiliki kekuatan optimal untuk menyangga tekanan batuan di sekelilingnya sehingga lapisan batubara akan retak dan mudah remuk. Kondisi ini selanjutnya akan memicu oksidasi batubara berjalan lebih cepat karena luas permukaan batubara yang dilalui angin menjadi semakin besar, sehingga terjadi kebakaran dalam tambang.

Tidak ada komentar: