Selasa, 10 Januari 2012

Masalah Pertambagan


Pertambangan di Indonesia dimulai berabad-abad lalu. Namun pertambangan komersial baru dimulai pada zaman penjajahan Belanda, diawali dengan pertambangan batubara di Pengaron- Kalimantan Timur (1849) dan pertambangan timah di Pulau Bilitun (1850). Sementara pertambangan emas modern dimulai pada tahun 1899 di Bengkulu–Sumatera. Pada awal abad ke-20, pertambangan pertambangan emas mulai dilakukan di lokasi-lokasi lainnya di Pulau Sumatera. Pada tahun 1928, Belanda mulai melakukan penambangan Bauksit di Pulau Bintan dan tahun 1935 mulai menambang nikel di Pomalaa-Sulawesi.
Setelah masa Perang Dunia II (1950-1966), produksi pertambangan Indonesia mengalami penurunan. Baru menjelang tahun 1967, pemerintah Indonesia merumuskan kontrak karya (KK). KK pertama diberikan kepada PT. Freeport Sulphure (sekarang PT. Freeport Indonesia). Berdasarkan jenis mineralnya, pertambangan di Indonesia terbagi menjadi tiga kategori,yaitu:
1. Pertambangan Golongan A, meliputi mineral-mineral strategis seperti: minyak, gas alam, bitumen, aspal, natural wax, antrasit, batu bara, uranium dan bahan radioaktif lainnya, nikel dan cobalt.
2. Pertambangan Golongan B, meliputi mineral-mineral vital, seperti: emas, perak, intan, tembaga, bauksit, timbal, seng dan besi.
3. Pertambangan Golongan C, umumnya mineral-mineral yang dianggap memiliki tingkat kepentingan lebih rendah daripada kedua golongan pertambangan lainnya. Antara lain meliputi berbagai jenis batu, limestone, dan lain-lain.
Eksploitasi mineral golongan A dilakukan Perusahaan Negara, sedang perusahaan asing hanya dapat terlibat sebagai partner. Sementara eksploitasi mineral golongan B dapat dilakukan baik oleh perusahaan asing maupun Indonesia. Eksploitasi mineral golongan C dapat dilakukan oleh perusahaan Indonesia maupun perusahaan perorangan. Adapun pelaku pertambangan di Indonesia dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu Negara, Kontraktor dan Pemegang KP (Kuasa Pertambangan). Selanjutnya beberapa isu-isu penting permasalahan pada pertambangan, adalah ketidakpastian kebijakan, penambangan liar, konflik dengan masyarakat lokal, konflik sektor pertambangan dengan sektor lainnya.
1.1 Ketidakpastian Kebijakan
Hal ini mengakibatkan tidak adanya jaminan hukum dan kebijakan yang dapat menarik para investor asing untuk menanamkan modal di Indonesia. Menurut Pricewaterwaterhouse Coopers (PwC), dalam laporan Indonesian Mining Industry Survey 2002, kekurangpercayaan investor terlihat dari penurunan eksplorasi dan kelayakan, serta pengeluaran untuk pengembangan dan aktiva. Tahun 2001, pengeluaran menurun 42% dibanding tahun 2000, sedangkan pengeluaran untuk aktiva dan pengembangan tahun 2001 hanya 15% dibanding rata-rata pengeluaran periode 1996-1999. Pengeluaran untuk eksplorasi dan kelayakan tahun 2001 menurun dari rata-rata pengeluaran tahun 1996-1999, sebesar US$ 434,3 juta menjadi US$ 37,9.
1.2 Penambangan Liar
Antara lain hal ini disebabkan oleh lemahnya penerapan hukum dan kurang baiknya sistem
perekonomian, sehingga mendorong masyarakat mencari mata pencaharian yang cepat menghasilkan. Salah satu bentuk penambangan liar yang sering dibicarakan adalah
PETI (Pertambangan Emas Tanpa Ijin). Pertambangan seperti ini banyak ditemui di pedalaman Kalimantan. Di sana masyarakat setempat mendulang emas di sepanjang tepian sungai dengan peralatan tradisional. Salah satu sungai yang ramai oleh pertambangan emas masyarakat adalah Sungai Kahayan. Kegiatan PETI berdampak cukup serius, seperti pendangkalan sungai, terganggunya alur pelayaran kapal oleh pasir gusung, pencemaran air sungai oleh merkuri, dan berkurangnya sumber protein bagi masyarakat (ikan).
1.3 Konflik dengan Masyarakat Lokal
Pada saat produksi, terdapat beberapa potensi konflik, seperti kesenjangan sosial ekonomi, perbedaan sosial budaya, serta munculnya rantai sosial akibat munculnya kluster kegiatan ekonomi beresiko sosial tinggi (premanisme, lokalisasi, dll). Sementara, pada saat pasca pertambangan, terdapat beberapa potensi konflik, seperti pengangguran, klaim terhadap lahan pasca pertambangan, munculnya pertambangan rakyat, dan sisa aktivitas sosial.
1.4 Konflik Sektor Pertambangan dengan Sektor Lainnya
Dalam hal ini misalnya konflik dalam penataan dan pemanfaatan ruang, pelestarian lingkungan, serta konflik pertambangan dengan sektor kehutanan dalam penggunaan lahan hutan lindung untuk kegiatan pertambangan. Penyebab konflik sektor pertambangan dengan sektor lain, antara karena:
1. Sulitnya Mengakomodasi Kegiatan Pertambangan kedalam Penataan Ruang
Hal ini dilatarbelakangi oleh adanya terminologi land use dan land cover dalam penataan ruang. Land use (penggunaan lahan) merupakan alokasi lahan berdasarkan fungsinya, seperti permukiman, pertanian, perkebunan, perdagangan, dan sebagainya. Sementara land cover merupakan alokasi lahan berdasarkan tutupan lahannya, seperti sawah, semak, lahan terbangun, lahan terbuka, dan sebagainya. Pertambangan tidak termasuk ke dalam keduanya, karena kegiatan sektor pertambangan baru dapat berlangsung jika ditemukan kandungan potensi mineral di bawah permukaan tanah pada kedalaman tertentu. Meskipun diketahui memiliki kandungan potensi mineral, belum tentu dapat dieksploitasi seluruhnya, karena terkait dengan besaran dan nilai ekonomis kandungan mineral tersebut. Proses penetapan kawasan pertambangan yang membutuhkan lahan di atas permukaan tanah membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan dengan proses penataan ruang itu sendiri.
2. Sering Dituduh sebagai ’Biang Keladi’ Kerusakan Lingkungan
Kerusakan akibat pertambangan dapat terjadi selama kegiatan pertambangan maupun pasca pertambangan. Dampak lingkungan sangat terkait dengan teknologi dan teknik pertambangan yang digunakan. Sementara teknologi dan teknik pertambangan tergantung pada jenis mineral yang ditambang dan kedalaman bahan tambang, misalnya penambangan batubara dilakukan dengan sistem tambang terbuka, sistem dumping (suatu cara penambangan batubara dengan mengupas permukaan tanah). Beberapa permasalahan lingkungan yang terjadi akibat kegiatan pertambangan, antara lain masalah tailing, hilangnya biodiversity akibat pembukaan lahan bagi kegiatan pertambangan, adanya air asam tambang.
3. Tumpang Tindih Pemanfaatan Ruang dengan Lahan Kehutanan
Hutan merupakan ekosistem alami tempat senyawa-senyawa organik mengalami pembusukan dan penimbunan secara alami. Setelah cukup lama, materi-materi organik tersebut membusuk, akhirnya tertimbun karena terdesak lapisan materi organik baru. Itu sebabnya hutan merupakan tempat yang sangat mungkin mengandung banyak bahan mineral organik, yang potensial untuk dijadikan sebagai bahan tambang.
Saat ini pertambangan sering dilakukan di daerah terpencil, bahkan di kawasan hutan lindung. Menurut TEMPO Interaktif (4 Maret 2003), terdapat 22 perusahaan tambang beroperasi di kawasan hutan lindung dan sempat ditutup. Total investasi 22 perusahaan tersebut mencapai US$ 12,2 miliar (Rp 160 triliun). Kegiatan pertambangan dinilai akan merusak ekosistem hutan lindung, yang berfungsi sebagai kawasan konservasi alam.

Tidak ada komentar: