Selasa, 20 Desember 2011

Pengusahaan Pertambangan Batubara



Batubara merupakan komoditas
tambang yang paling diminati sebagai salah
satu sumber energi alternatif di saat terjadi
kenaikan harga minyak dunia. Saat ini,
Indonesia merupakan salah satu produsen
sekaligus eksportir utama batubara di
dunia.
Asosiasi Pertambangan Batubara
Indonesia menyebutkan bahwa produksi
batu bara pada tahun 2006 sekitar 193,54
juta ton dimana 145 juta ton diekspor ke Asia, Eropa dan negara-negara lain.
Kemudian pada tahun 2007, produksi batubara nasional mencapai 225 juta
ton, dimana 150 juta ton akan diekspor. Data pada tahun 2007 juga
menunjukkan Indonesia memiliki sumber daya batubara sebesar 90 miliar
ton dan cadangan 18,7 miliar ton yang dapat digunakan sedikitnya selama
110-120 tahun.
Besarnya produksi tambang Indonesia menarik minat dari negaranegara asing untuk memenuhi kebutuhan dalam negerinya seperti Cina.
Kebutuhan Cina akan energi yang teramat besar adalah guna mendukung
kegiatan pembangunan, terlebih karena negara ini memiliki Pembangkit
Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batubara berkalori rendah.
Walaupun Cina merupakan salah satu produsen batubara terbesar di
dunia, akan tetapi kebutuhan dalam negeri yang sangat besar menyebabkan
Cina menginginkan untuk melakukan pengamanan sumber energi ini dan
memilih untuk mengimpor batubara dari negara lain, bahkan mencari lahan
konsensi. Sebagai contoh pada tahun 2007, tiga perusahaan listrik besar di
Provinsi Guangdong China telah menandatangani kontrak dengan PT Adaro
Indonesia untuk mengimpor batubara sebanyak 32,5 juta ton dalam 5(lima)
tahun ke depan yang disuplai dalan tiga tahap yaitu 15 juta ton, 9 juta ton,
dan 8
½
juta ton, untuk memenuhi kebutuhan energi pembangkit tenaga
thermal.
Selain meningkatnya kebutuhan dan permintaan asing akan batubara,
hasil tambang ini juga menjadi sorotan menyusul terjadinya kasus tunggakan
royalti batubara yang ditahan oleh 6(enam) perusahaan batubara dan
restitusi pajak batubara. Bahkan Pemerintah melalui Departemen ESDM telah
meminta BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan) untuk
melakukan penghitungan besarnya royalti atau DHPB (Dana Hasil Produksi
Batubara), dan diperkirakan dana yang ditahan mencapai Rp7 Triliun sampai
dengan tahun 2008. Pemerintah juga telah melakukan pencekalan terhadap 6
(enam) perusahaan tersebut dan Ditjen Imigrasi telah mengeluarkan daftar
cekal untuk direksi PT Arutmin Indonesia, PT Kaltim Prima Coal, PT Adaro,
dan PT Berau Coal selama 6 (enam) bulan mulai Agustus 2008 sampai
dengan Januari 2009.
Permasalahan ini bermula dari adanya kontrak Perjanjian Karya
Pengusahaan Pertambangan Batubara (PK2B) yang dibuat oleh pengusaha
batubara generasi I. Kontrak ini menganut sistem nail down yang berarti bila
ada pungutan-pungutan yang ditetapkan setelah kontrak ditandatangan

maka tidak dapat diterapkan terhadap pengusaha. Dalam kontrak disebutkan
bahwa jika muncul pajak baru yang tidak tercantum dalam kontrak, maka
Pemerintah akan membayar sejumlah nilai yang sama melalui mekanisme
reimbursement. Namun ternyata Pemerintah mengeluarkan PP No. 14 Tahun
2000 tentang Jenis Barang dan Jasa yang tidak dikenakan PPN (Pajak
Pertambahan Nilai), sehingga pengusaha batubara generasi I tidak dapat
mengenakan PPN keluaran pada penjualan batubaranya padahal perusahaan
tetap menanggung PPN biaya atas barang, jasa dan peralatan dalam produksi
batubara. Untuk mengatasi masalah ini, Pemerintah merencanakan untuk
mengeluarkan Permenkeu yang mengatur mekanisme reimbursement, dan
penyelesaian akan berpedoman pada kontrak yang ada.
Apakah sebenarnya PK2B itu ? Perjanjian Karya Pengusahaan
Pertambangan Batubara (PK2B) merupakan salah satu instrument hukum
dalam bidang pertambangan khususnya dalam bidang batubara. PK2B dibuat
antara Pemerintah Indonesia dengan perusahaan swasta asing atau patungan
antara asing dan nasional (dalam rangka PMA). Investasi (penanaman
modal) di bidang pertambangan telah dibuka sejak tahun 1967 dengan
dikeluarkannya UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Pasal
8 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1967 menyatakan bahwa penanaman modal asing
di bidang pertambangan didasarkan pada suatu kerja sama dengan
Pemerintah atas dasar kontrak karya atau bentuk lain sesuai dengan
peraturan perundangan yang berlaku. Kemudian melalui UU No. 11 Tahun
1967 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Pertambangan, diatur tentang ijin bagi
pihak swasta menjadi kontraktor untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan
yang belum atau tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh Instansi Pemerintah
atau Perusahaan Negara yang memegang kuasa pertambangan. Dalam hal
perjanjian karya berbentuk penanaman modal asing, maka perjanjian karya
berlaku sesudah disahkan oleh Pemerintah setelah berkonsultasi dengan
DPR.
PK2B pertama kali diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1996, dan
merupakan perjanjian pola campuran. Disebut demikian karena untuk
ketentuan perpajakan mengikuti pola kontrak karya, sedangkan pembagian
hasil produksinya menggunakan kontrak production sharing. Sebelumnya
istilah yang digunakan adalah Perjanjian Kerja Sama sebagaimana terdapat
pada Pasal 1 Keppres No. 49 Tahun 1981 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Perjanjian Kerja Sama Pengusahaan Tambang Batu Bara antara
Perusahaan Negara Tambang Batu Bara dan Kontraktor Swasta : perjanjian
antara perusahaan negara tambang batubara sebagai pemegang kuasa
pertambangan dan pihak swasta sebagai kontraktor untuk pengusahaan
tambang batu bara untuk jangka waktu tiga puluh tahun berdasarkan
ketentuan-ketentuan tersebut dalam Keputusan Presiden ini. Istilah PK2B
baru digunakan dalam Pasal 1 Keppres No. 75 Tahun 1996 tentang
Ketentuan Pokok Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara
adalah : perjanjian antara pemerintah dan perusahaan kontraktor swasta
untuk melaksanakan pengusahaan pertambangan bahan galian batu bara.
Selain terdapat dalam Keppres No. 75 Tahun 1996, istilah ini juga digunakan
dalam Pasal 1 Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No.
1409.K/201/M.PE/1996 tentang Tata Cara Pengajuan Pemrosesan
Pemberlakuan Kuasa Pertambangan, Izin Prinsip, Kontrak Karya dan
Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu bara yaitu : suatu
perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dengan perusahaan swasta

asing atau patungan antara asing dengan nasional (dalam rangka PMA) untuk
pengusahaan batu bara dengan berpedoman kepada Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing serta Undang-Undang Nomor
11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan Umum.
Saat ini telah terdapat Undang-Undang Penanaman Modal yang baru,
dan telah dibuat RUU Mineral Batu Bara dan Panas Bumi (Minerba), akan
tetapi terhadap PK2B yang dibuat sebelum UU Penanaman Modal baru
ditetapkan, pengaturan dan pendefinisian sebagaimana terdapat pada
Keppres No. 75 Tahun 1996 dan Keputusan Menteri Pertambangan dan
Energi No. 1409.K/201/M.PE/1996 tetap berlaku. Dalam kedua peraturan
perundang-undangan ini terdapat perbedaan unsur-unsur :
Keppres No. 75 Tahun 1996 :
- para pihak dalam perjanjian ini adalah pemerintah dan perusahaan
kontraktor swasta;
- objeknya adalah pengusahaan pertambangan bahan galian batubara;
sementara dalam Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No.
1409.K/201/M.PE/1996, unsur-unsurnya adalah :
- adanya perjanjian;
- subjek hukumnya adalah Pemerintah RI dengan perusahaan swasta asing
atau patungan antara asing dengan nasional (dalam rangka PMA);
- objeknya adalah untuk pengusahaan batu bara;
- pedoman yang digunakan adalah UU No. 1 Tahun 1967 tentang
Penanaman Modal Asing serta UU No. 11 Tahun 1967 tentang KetentuanKetentuan Pokok Pertambangan Umum.

Pentingnya batu bara saat ini juga membuat masyarakat menuntut
adanya evaluasi terhadap kontrak-kontrak batu bara yang ada dan yang akan
ada, terlebih lagi bilamana RUU Minerba nantinya telah disahkan. Saat ini,
Pemerintah melalui Dirjen Minerbapabum Departemen ESDM telah
menyatakan akan mengevaluasi semua kontrak penjualan batubara yang ada
yang menggunakan harga tetap (fix/flat rate) dan merenegoisasikan kontrakkontrak tersebut dengan harga baru yang sesuai dengan harga pasar.
Pemerintah juga menginginkan agar nantinya kontrak-kontrak yang baru
dibuat menggunakan formula fluktuatif sehingga harga penjualan
batubaranya bisa mengikuti harga pasaran. Bahkan sejak Juli 2008 lalu,
Pemerintah telah menghentikan kegiatan ekspor 6(enam) perusahaan yang
menjual batu bara dengan harga lebih rendah dari harga yang ditetapkan
Pemerintah. Perusahaan-perusahaan tersebut adalah PT Antang Gunung
Meratus, PT Tanjung Alam Jaya, PT Sumber Kurnia Buana, PD Baramarta, PT
Kadya Caraka Mulia, dan PT Bangun Buana Persada.
Permasalahan penetapan harga pasar ini menjadi penting terkait
dengan keuntungan yang akan diperoleh oleh Negara sebesar 13.5%. Hal ini
sesuai dengan amanat Pasal 33 UUD 1945 yaitu untuk mencapai sebesarbesarnya kemakmuran rakyat dimana dalam pengusahaan batubara, manfaat
yang diperoleh Pemerintah diantaranya adalah royalti dan pajak. Maka untuk
memaksimalkan pendapatan Negara tersebut, Pemerintah juga harus
merumuskan suatu prosedur penetapan royalti yang tidak merugikan
pemerintah dan pengusaha agar dapat tetap menarik para investor untuk
mengembangkan batu bara nasional.
Selain itu, saat ini juga terdapat wacana dari pemerintah daerah yang
meminta Pemerintah Pusat menerbitkan peraturan yang mengatur tata niaga
batubara agar tidak diperjualbelikan sebebas-bebasnya yang dikhawatirkan
akan membahayakan potensi cadangan batubara Indonesia sebab sampai
saat ini Pemerintah sendiri belum memiliki akses data untuk mendapatkan
jumlah riil potensi batubara yang ada.

Tidak ada komentar: